Tetaplah Mulia
Tepat pukul 6.30 pagi, ketika
belum lama aku terbangun dari tidur lelapku, mereka berangkat keluar rumah
bersama. Mereka kembali ke rumah setelah pukul 13.30 saat aku hendak istirahat
setelah lelah bermain. Usiaku masih sangat dini untuk tau ke mana mereka pergi
dan apa yang mereka lakukan di luar sana. Tak jarang aku menangis menahan
mereka pergi. Saat itu kakek ku selalu menenangkanku dengan kelembutannya.
Sering pula aku kegirangan ketika mendapati mereka pulang membawa bingkisan
yang isinya cukup menarik.
Suatu siang saat aku bermain
bersama kakek, aku bertanya. “Mbah, bapak dan ibu tiap pargi pergi ke mana? Kok
lama perginya?”
“Bapak ibu mu pergi ke sekolah,
mereka seorang guru.” Jawab beliau.
“Guru? Apa yang mereka lakukan di
sana?” Tanyaku penasaran.
“Mereka mengajar anak-anak yang
belajar sekolah. Membuat anak-anak menjadi pintar.”
Dari jawaban kakek aku tahu bahwa
kedua orang tuaku berprofesi sebagai guru. Bapak seorang guru SMP, beliau
mengajar mata pelajaran Bahasa Indinesia. Ibu mengajar di SD.
Semakin bertambah usia, rasa
penasaranku terhadap profesi guru semakin bertambah. Pertanyaan sering aku
sampaikan pada kedua orang tuaku. Berbagai jawaban aku dapatkan dari mereka.
Salah satu penjelasan dari bapak yang selalu aku ingat sampai saat ini adalah
bahwa guru adalah profesi atau pekerjaan yang pahalnya banyak. Saat itu aku tak
sepenuhnya mengerti apa yang disampaikan bapak. Yang aku tahu, kalau kita punya
banyak pahala berarti kita bisa masuk surga, dan surga itu adalah tempat yang
menyenangkan. Lalu, apa hubungannya menjadi guru dengan banyak pahala?
Pertanyaan itu aku temukan
jawabannya ketika aku telah bersekolah. Tepatnya saat aku duduk di bangku
sekolah dasar. Ibu Mukhliati, guru mata pelajaran Agama Islam di sekolahku saat
itu menjelaskan bahwa terdapat tiga perkara yang mendatangkan pahala yang tak
terputus walau pelakunya sudah meninggal dunia. Salah satu perkara tersebut
adalah ilmu yang bermanfaat. Pahala tidak terputus bagi seseorang yang
menyampaikan ilmu yang bermanfaat. Beliau juga menjelaskan bahwa dengan menjadi
guru kita dapat menyampaikan ilmu yang bermanfaat. Selain itu juga dapat
menjadikan anak didik menjadi anak yang pintar, berbakti pada orang tua dan
melakukan berbagai kebaikan yang lain. Semua itu dapat mengalirkan pahala yang
tak terputus walau guru tersebut telah meninggal dunia dan InsyaAllah akan
meringankan jalannya menuju surga. Mulai saat itu aku memiliki cita-cita untu
menjadi guru.
Beranjak dewasa informasi yang
aku dapat terkait kemuliaan seorang guru semakin banyak. “Sejatinya guru adalah
profesi yang dijalani oleh para nabi” Ungkap seorang penceramah di sebuah
forum. “Para nabi senantiasa mengajarkan kebaikan pada umatnya.” Akupun
menyimpulkan bahwa para guru di zaman sekarang merupakan penerus perjuangan
para nabi di zaman dahulu. Para guru meneruskan perjuangan para nabi dalam
mengarahkan masyarakat kepada jalan kebaikan.
Sebuah kemuliaan pasti akan
diikuti dengan tanggung jawab yang besar, pemikiran tersebut yang aku yakini.
Besarnya kemuliaan para guru diikuti pula dengan besarnya tanggung jawab yang
mereka pikul. Para guru tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu namun juga
berkewajiban mendidik para anak didik. Para guru dengan segala karunia yang
diberikan Allah pada mereka juga bertanggung jawab pada kebermanfaatan ilmu
yang mereka sampaikan. Lebih jauh lagi, mereka pun bertanggung jawab pada baik
buruknya kelakuan para anak didik. Mereka dituntut memberikan keteladanan pada
anak didik mereka sebagai upaya mengarahkan anak-anak menjadi generasi yang
diselimuti kebaikan.
Cukup miris ketika saat ini para
pemikul tanggun jawab tersebut tidak menjalankan tugasnya dengan maksimal.
Berbagai faktor melatar belakangi. Mulai dari kebutuhan ekonomi dan tuntutan
pekerjaan menjadikan mereka lupa untuk mendidik dan memberi keteladanan pada
para anak didik. Kecilnya gaji guru di negeri ini dijadikan alasan bagi para
guru untuk tidak fokus dalam menjalankan tugas. Mereka harus mencari sumber
pendapatan lain demi tercukupi kebutuhan ekonomi. Bahkan tidak sedikit yang
menjalankan dengan cara yang tidak halal. Tuntutan prestasi kerja pun menjadi
penyebab banyak guru yang hanya mementingkan anak didiknya lulus dengan nilai
yang baik, tak peduli bagaimana cara yang meraka lakukan apakah baik atau
tidak.
Untuk itu, tepat di HUT Republik
Indonesia ke 71 pada tanggal 17 Agustus tahun lalu aku mencoba mengukirkan
sebuah catatan yang kumaksudkan sebagai pengingat bagi diri sendiri dan bagi
rekan-rekan guru di seluruh pelosok negeri. Pengingat akan mulianya tugas para
guru yang harus kita jaga kemuliaannya. Catatan itu berbentuk sebuah puisi yang
aku beri judul “Tetaplah Mulia”. Seperti ini puisinya:
Tetaplah Mulia
Matahari, malalui
kilaunya
Ia sinari alam semesta
Salurkan energi kehidupan
Bagi seluruh makhluk yang
membutuhkan
Bintang-bintang
bertaburan
Menghiasi
gelapnya langit petang
Ia
bimbing para petualang
Menuju
arah yang tak mnyesatkan
Rembulan
yang selalu mendampingi
Menemani
di kala malam sunyi
Selalu
sedia untuk memperingati
Para
hamba berhati suci
Matahari,
bintang dan Rembulan
Diciptakan
dengan masing-masing peran
Mengemban
amanat jalannya kehidupan
Hingga
Sang Pencipta memberhentikan
Wahai kau para guru
Sang Pencipta
menciptakanmu
Insan cendekia nan mulia
dengan segala karunia
Kau
bukanlah matahari
Kau bukanlah
bintang
Kau
bukan pula rembulan
Namun
engkau selayaknya mereka
Jika
matahari menyinari semesta
Kau
menyinari siapa saja yang berkenan menerima
Jika
bintang menghiasi petang dan membimbing petualang
Kau
bimbing para calon petualang hingga hidup ternaungi cahaya terang
Jika
bulan menemani dan memperingati hati yang suci
Kau
dampingi insan-insan agar tetap suci
Wahai
kau para guru
Sang
Pencipta menciptakanmu
Insan
cendekia nan mulia dengan segala karunia
Purwokerto,
17 Agustus 2016
Semoga di kemudian hari para guru
semakin baik dalam membimbing anak didik menuju hari penuh kebaikan. Serta
semoga nagera ini, dengan usia yang semakin dewasa, dapat menjalankan sistem
pendidikan yang lebih membanggakan.
EmoticonEmoticon