Sayyid Quthb
Telunjuk yang bersyahadat !
siapakah said qutb?
Sayyid Quthb
dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 M. di kota Asyut, salah satu
daerah di Mesir. Dia merupakan anak tertua dari lima bersaudara, dua
laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya bernama al-Haj Qutb Ibrahim, ia
termasuk anggota Partai Nasionalis Musthafa Kamil sekaligus pengelola
majalah al-Liwâ`, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu. Qutb
muda adalah seorang yang sangat pandai. Konon, pada usianya yang
relatif muda, dia telah berhasil menghafal al-Qur`an diluar kepala pada
umurnya yang ke-10 tahun. Pendidikan dasarnya dia peroleh dari sekolah
pemerintah selain yang dia dapatkan dari sekolah Kuttâb (TPA).
Pada
tahun 1918 M, dia berhasil menamatkan pendidikan dasarnya. Pada tahun
1921 Sayyid Qutb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di
Madrasah Tsanawiyah. Pada masa mudanya, ia pindah ke Helwan untuk
tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Ustman yang merupakan seorang
jurnalis. Pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan
lulus tiga tahun kemudian. Lalu ia melanjutkan jenjang perguruannya di
Universitas Dâr al-‘Ulûm hingga memporelah gelar sarjana (Lc) dalam
bidang sastra sekaligus diploma pendidikan.
Berbekal persedian dan
harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga
sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota
Mesir, Cairo. Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di
luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Semangat dan kemampuan
belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai
buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al
Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa
meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi
salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933 Qutb
dapat menyabet gelar sarjana pendidikan.
karya karya said qutb
Sepanjang hayatnya, Sayyid Qutb
telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai
bidang. Penulisan buku-bukunya juga sangat berhubungan erat dengan
perjalanan hidupnya. Sebagai contoh, pada era sebelum tahun 1940-an,
beliau banyak menulis buku-buku sastra yang hampa akan unsur-unsur
agama. Hal ini terlihat pada karyanya yang berjudul “Muhimmat al-Syi’r
fi al-Hayâh” pada tahun 1933 dan “Naqd Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr”
pada tahun 1939.
Pada tahun 1940-an, Sayyid Qutb mulai menerapkan
unsur-unsur agama di dalam karyanya. Hal itu terlihat pada karya beliau
selanjutnya yang berjudul “al-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an” (1945) dan
“Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”.
Pada tahun 1950-an, Sayyid
Qutb mulai membicarakan soal keadilan, kemasyarakatan dan fikrah Islam
yang suci menerusi ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan ‘Ma’rakah
al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’. Selain itu, beliau turut menghasilkan
“Fî Zhilâl al-Qur`ân’” dan “Dirâsat Islâmiyyah”. Semasa dalam penjara,
yaitu mulai dari tahun 1954 hingga 1966, Sayyid Qutb masih terus
menghasilkan karya-karyanya. Di antara buku-buku yang berhasil ia tulis
dalam penjara adalah “Hâdza al-Dîn”, “al-Mustaqbal li Hâdza al-Dîn”,
“Khashâ`is al-Tashawwur al-Islâmi wa Muqawwimâtihi’ al-Islâm wa
Musykilah al-Hadhârah” dan “Fî Zhilal al-Qur`ân’ (lanjutannya).
Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir.
Selama bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa,
sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari
sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika,
tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di
negeri Paman Sam itu. Wilson’s Teacher’s College, di Washington ia
jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford
University di California tak ketinggalan diselami pula. Seperti
keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke
berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara
lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak
tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Qutb.
kegiatan said qutb
Hukum
dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang
ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik
kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matrealistis dan jauh dari nilai-nilai agama.
Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Qutb kembali lagi ke asalnya.
Seperti pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke
kandang. Ia merasa, bahwa Qur’an sudah sejak lama mampu menjawab semua
pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok
pergerakan Ihkwanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Qutb benar-benar
mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama
namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan
Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran ikhwanul muslimin.
Saat itu Sayyid Qutb
menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga
dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal
sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam
H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis
tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan.Empat
tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin
redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan tajam karena dilarang beredar oleh pemerintah.
Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi,
Sayyid Qutb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer.
Saat itu Sayyid Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara
pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat
itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses
yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara
dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan
kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja
paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah
penjara, begitulah yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala
itu.
Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat
presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang
presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid
Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding
pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali
menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi,
Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam
penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat
Mesir lainnya. Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer.
Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua
niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali
ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Qutb
sebelumnya. Ia dan dua kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.
Meski
berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas
hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada
tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya.
Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani, Sayyid Qutb
sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan dan
pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul, “Mengapa Saya Dihukum Mati”. Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu.
EmoticonEmoticon