Hassan Al-Hudaibi
Beliau adalah seorang Konsultan dan 
jaksa, bernama lengkap Hasan Ismail Al-Hudaibi, jabatan terakhirnya 
sebagai  mursyid kedua jamaah Ikhwanul Muslimin, dan merupakan mursyid 
yang mengalami masa sulit dan penuh dengan ujian dan cobaan, karena pada
 saat beliau diangkat menjadi mursyid berada pada masa terjadinya 
perselisihan antara para pejuang revolusi, terutama mantan presiden 
Jamal Abdul Naser. Dan sebagai  masa dimana para anggota jamaah banyak 
yang ditangkap, dipenjara dan disiksa; dan pemerintah pada saat itu 
berusaha melakukan pembersihan jamaah Ikhwanul Muslimin dengan kekuatan 
dan kekerasan dari bumi Mesir dan dunia.
Perjalanan hidup, sejarah singkat kepribadian dan karakter  Hassan Al-Hudaibi 
Hasan
 Al-Hudaibi lahir di desa Arab Al-Shawalihah, distrik Syibin Al-Qanatir,
 tahun 1309 yang bertepatan pada bulan Desember 1891 M. menghafal Qur’an
 di desanya sejak kecil, kemudian masuk sekolah formal di Al-Azhar yang 
semangat keagamaan nya yang tinggi dan ketakwaan yang suci. Kemudian 
setelah itu pindah ke sekolah negeri dan mendapatkan ijazah SD pada 
tahun 1907, lalu masuk sekolah Aliyah Al-Khadiwiyah (setingkat SMA) dan 
mendapat gelar BA pada tahun 1911, kemudian meneruskan kuliah di bagian 
hukum, dan lulus darinya pada tahun 1915. Setelah itu menjalankan masa 
percobaan menjadi pengacara di Kairo dan secara bertahap menjadi 
pengacara yang sesungguhnya.
Setelah menjadi pengacara, 
beliau bekerja sesuai profesinya di distrik Syibin Al-Qanatir, lalu 
untuk pertama kali dalam hidupnya dan tanpa diketahui oleh seorang pun, 
beliau pergi ke daerah Sohaj dan tinggal di sana hingga tahun 1924, dan 
di sana beliau menjadi jaksa. kemudian pindah ke daerah Qana, lalu 
pindah ke daerah Naja’ Hamady tahun 1925, lalu pindah lagi ke daerah 
El-Manshurah tahun 1930, dan tinggal di daerah Al-Mania selama satu 
tahun, kemudian pindah ke daerah Asyuth, lalu ke Zaqaziq, lalu ke Giza 
pada tahun 1933, dan pada akhirnya menetap di Kairo.
Tahapan beliau menjabat sebagai 
jaksa diawali dengan menjabat sebagai direktur administrasi 
kepaniteraan, lalu menjadi ketua badan pemeriksa kejaksaan, lalu sebagai
 konsultan di mahkamah konstitusi. Kemudian mengundurkan diri sebagai 
jaksa setelah terpilih menjadi mursyid Ikhwanul Muslimin pada tahun 
1951. Pertama kali beliau menjabat, dirinya dan para ikhwan lainnya 
ditangkap tanggal 13 Januari 1953, namun pada bulan maret pada tahun 
sama beliau dibebaskan kembali, setelah dijenguk oleh para senior dan 
jenderal revolusi sambil meminta maaf kepadanya. Kemudian ditangkap lagi
 untuk yang kedua kalinya pada akhir tahun 1954 dan divonis hukuman 
mati, namun akhirnya diberikan keringanan dengan hukuman seumur hidup. 
Kemudian hukuman dipindah dari penjara menjadi tahanan rumah, akibat 
menderita sakit dan usia lanjut. Kemudian pada tahun 1961 hukuman 
tahanan rumah dihapus atasnya. Dan beliau kembali ditangkap pada tanggal
 23 Agustus 1965 di Alexandria dan dijatuhi hukuman dengan wajib lapor, 
kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun, walaupun pada saat itu
 umur beliau telah mencapai 70 an tahun, dan kemudian diberikan izin 
keluar untuk ke rumah sakit selama 15 hari, kemudian dipindah ke 
rumahnya, lalu dikembalikan ke penjara untuk melengkapi masa tahanannya.
 Dan masa tahanannya menjadi panjang –melewati batas yang dijatuhkan- 
hingga tanggal 15 Oktober tahun 1971. Dan beliau wafat pada hari kamis, 
jam 07 pagi waktu setempat, pada tanggal 14 Syawal 1939 bertepatan 
dengan tanggal 11 November 1973.
Karakter Hasan Al-Hudaibi
Hassan al-Hudaibi adalah sosok 
seorang Muslim sejati, hafal Al-Qur’an sejak belia, memiliki komitmen 
untuk selalu taat kepada Allah, beliau tidak pernah lengah dan tidak 
pernah merasa bosan dalam menunaikan tugas dan kewajiban agama.  
Beliau
 adalah sosok manusia yang dermawan dan tidak pernah memiliki keraguan 
sejak dia menjadi seorang siswa hingga menjadi konsultan dalam berpegang
 pada prinsip dan kebenaran.  Beliau merupakan contoh dan teladan di 
antara teman-temannya dan orang-orang yang dekat dengannya atas ke 
istiqamahannya,  keteguhan akhlaqnya dan kemuliaan karakternya, 
keengganannya bermujamalah (bermain-main) pada kebenaran dan ketidak 
takutannya kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Beliau juga mampu 
mencetak rumah tangganya dengan tabiat dan shibghah Islam; adab-adabnya,
 kebiasaan-kebiasaannya dan pakaian-pakaiannya, sehingga tampak dengan 
akan keteguhan agamanya dan Ittiba’nya dengan nama agama melebihi 
jabatan dan julukan yang telah dimiliki dan diraihnya.
Hassan
 Al-Hudaibi juga merupakan sosok yang sangat disegani oleh teman 
sejawatnya dan para konsultan lainnya; terutama yang berani bermain-main
 dengan undang-undang sipil, dan yang melakukan pelanggaran dasar-dasar 
syariah Islam. Suatu kali; pada jiwa-jiwa terhenti tanpa dapat melakukan
 apa-apa, dan cukup dengan memberikan agenda kritikan yang lembut, 
beliau pergi dengan sendirinya ke pusat revisi undang-undang, dan 
memberikan pernyataan secara resmi bahwa dirinya menentang dan mengutuk 
berbagai produk undang-undang yang tidak berasal dan bersumber dari 
syariat Islam, atau kandungan bab dan fasal-fasalnya yang bertentangan 
dengan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga, dengan sikap tersebut menjadi 
berita headline di seluruh surat kabar di Mesir saat itu; bahkan koran 
Al-Ikhwan menerbitkan berita dengan tema “Hasan Al-Hudaibi, semoga Allah
 menolongnya” yang berasal dari surat kabar “Akhbar Al-Youm.”  Dan 
karakter yang agung yang terdapat dalam diri Al Hassan Al-Hudaibi adalah
 ketegarannya dan keberaniannya dalam menentang kebatilan, dan terhadap 
para pelaku dan pendukung kebatilan, ketegarannya berdiri dihadapan 
kekuatan zhalim dan para pelaku kezhaliman, sekalipun usia beliau sudah 
lanjut dan sering sakit-sakitan beliau tetap melakukan aktivitas. 
Sebagaimana beliau juga memiliki karakter  membenci terhadap hal-hal 
yang berbau pamer dan pujian, jauh dari pantauan, karena itu –kadang- 
beliau selalu menghindar dari sorotan kamera, menolak untuk ditulis 
tentang jati dirinya dan perjalanan hidupnya; karena yang beliau 
harapkan hanyalah ganjaran dari Allah. Jika seorang imam memilih banyak 
diam dan jauh dari sorotan masa, adalah merupakan ketawadhuan dan 
kelebihan yang dimilikinya, namun di antara haknya –dan juga hak imam 
Al-Banna dan seluruh ulama dan umat yang membawa amanah setelah mereka 
hingga hari akhir zaman, untuk selalu menjadi uswah dan qudwah (contoh 
dan teladan), bahkan beliau menjadi menara yang mengarahkan para pembawa
 risalah dakwah dan  pengarah jalan di dalamnya, sehingga dapat 
dijadikan pegangan bagi para pengemban amanah dakwah dan menerangi jalan
 mereka, karena para pemuda zaman sekarang ini, banyak yang sering 
mentaqlid dari sana sini, menemukan kebesaran jiwa dari sebagian tokoh. 
Karena itu, jika mereka mengambil kebesaran jiwa maka mereka kelak akan 
menjadi jiwa yang memiliki kepribadian yang tinggi pula.
Perjuangan beliau 
Adapun Perjuangan pada bidang 
pekerjaan dan spesialisasinya memiliki sejarah yang sangat menarik. 
Suatu ketika ketua mahkamah konstitusi bertanya kepadanya: Ya Hasan, 
bukankah engkau bersama saya, bahwa kebanyakan dari undang-undang sipil 
saat ini berkaitan erat dengan hukum-hukum yang ada dalam fiqh Islam? 
Hasan Hudaibi berkata: betul. Orang tersebut berkata lagi: jadi apa 
dasarnya tuntutan Anda untuk kembali pada syariat Islam dan menerapkan 
hukum-hukumnya?”. Beliau menjawab: Hal tersebut karena Allah SWT. Dia 
berfirman: “Dan hendaklah saat memutuskan hukum diantara mereka sesuai 
dengan apa yang diturunkan Allah”. Dan tidak mengatakan: Dan berhukumlah
 seperti yang diturunkan Allah. Dan bahwa berhukum pada syariat Allah 
menurut seorang muslim adalah ibadah dan menunjukkan ketaatan kepada 
perintah Allah, dan itulah sumber keberkahannya, rahasia kekuatan yang 
ada dalam jiwa orang-orang yang beriman dengannya dan dalam komunitas 
jamaah muslimah.
Ketika dijabarkan rancangan 
revisi undang-undang sipil Mesir pada tahun 1945 di hadapan ustadz 
Al-Hudaibi, tertulis disitu bahwa beliau menolak mendiskusikan proyek 
tersebut dari sisi prinsipnya; karena tidak berdasarkan pada al-kitab 
dan as-sunnah.
Dan pada tahun 
1947 Ustadz Hasan Al-Hudaibi menerbitkan sebuah artikel di koran Mesir 
“Akhbar Al-Youm,” yang membantah amandemen rancangan undang-undang sipil
 Mesir, beliau berkata, “bahwa amandemen terbaik menurut pandangan saya 
adalah yang mengacu pada sebuah undang-undang yang satu; untuk 
menerapkan hukum syariah dalam kasus pidana dan perdata kemudian beliau 
berkata: “Aku telah menyatakan pendapat di komisi revisi undang-undang 
sipil dalam Senat, dan saya sampaikan: Bahwa undang-undang kita harus 
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dalam berbagai sendi kehidupa, bukan 
hanya dalam urusan syariat saja. Bahwa Islam adalah agama yang koheren 
dan terpadu tidak boleh dipisah-pisah, sehingga harus diterapkan seluruh
 ketentuannya oleh setiap orang yang menganutnya” Inilah pendapat yang 
saya kemukakan, dan saya berharap bahwa saya telah menyelesaikan tugas 
dalam melakukan revisi undang-undang, berusaha mempelajarinya hingga 
tidak terdapat di dalamnya  undang-undang asing yang tidak konsideran 
dengan Al-Qur’an Al-Karim, yang tidak bisa membedakan antara yang halal 
dan yang haram, padahal keduanya sangat jelas karakter dan 
batasan-batasannya hingga hari kiamat. 
Dan
 inilah yang saya sampaikan di hadapan tim revisi, dan saya yakin bahwa 
mereka tidak akan menerima dan mengambilnya, namun bagi saya tidak 
mengapa selama saya yakin dengan apa yang saya sampaikan, namun menurut 
praduga saya, kelak setelah berjalan 20 atau 30 tahun opini akan 
mengarah pada pengambilan pendapat saya; setiap kali Allah melapangkan 
dada umat manusia dengan Al-Qur’an pada hari yang meliputi opini dan 
pendapat ini”. 
Kami telah melihat bahwa 
berbagai undang-undang yang bersumber pada undang-undang asing tidak 
memberikan kemaslahatan pada negeri kami,  tidak mencapai apa yang 
diharapkan, penjara ini penuh narapidana, kejahatan meningkat, 
kemiskinan menyebar, dan moral dan akhlak menurun, hubungan sosial 
memburuk hingga terjadi setiap hari sejak para pendahulunya, dan ini 
semua tidak mampu dirubah kecuali jika kita menyusun kembali hubungan 
kita dengan sunnah kauniyah yang telah diturunkan melalui wahyu dengan 
berbagai rahasia-rahasianya, dan tanda-tandanya yang terdapat dalam 
Al-Qur’an, dan dengan itu semua, maka kita akan dapat tinggal di rumah, 
di tengah keluarga dan masyarakat, bersama anak-anak kita, dan bersama 
semua orang yang hidup bersama Al-Qur’an “.
Pada tanggal sepuluh Desember 
1952, konstitusi Klasik Mesir mengumumkan revisi dan setelah berlalu dua
 hari ditetapkan seratus anggota untuk membuat konstitusi baru yang mana
 di antara mereka ada tiga orang yang berasal dari Ikhwanul Muslimin. 
Akhirnya majalah “El-dakwah” menerbitkan artikel yang mengajak untuk 
mendukung konstitusi berdasarkan Islam. Hasan Al-Hudaibi mengajak untuk 
dilakukan  referendum; guna mengetahui apakah Mesir memilih syariat 
Islam atau undang-undang barat?  Jika memilih berhukum pada Islam maka 
pemerintah harus komitmen melaksanakan pilihan tersebut, dan jika 
memilih undang-undang Barat –yang tidak mungkin keluar dari diri seorang
 muslim- maka kita harus mengaca diri, mengajarkan umat akan perintah 
Tuhannya dan apa yang seharusnya mereka lakukan”.
Awal Hasan Al-Hudaibi mengenal Ikhwanul Muslimin
Dikisahkan bahwa hubungan beliau
 dengan Ikhwanul Muslimin dimulai sejak tahun 1942, yaitu saat beliau 
mendapatkan kepuasan dengan dakwah al-Ikhwan melalui praktek sebelum 
mendapatkannya secara teori.  Hal tersebut terjadi ketika beliau melihat
 sebagian anggota kerabatnya dari para petani yang sedang menghadapi 
berbagai macam masalah; agama dan politik, yang kebanyakan dari 
masyarakat umum tidak memahami hal tersebut, terutama karena kebanyakan 
dari mereka adalah berasal kalangan umi (buta huruf), dan ketika 
diketahui bahwa hal tersebut kembali kepada para Ikhwan, beliau tertarik
 dengan cara dakwahnya, sehingga beliau sangat antusias untuk menghadiri
 khutbah Jum’at di masjid-masjid yang diisi oleh pendiri jamaah Ikhwan; 
Hasan Al-Banna. Dan sejak tahun 1942 beliau mulai menjalin hubungan 
dengan dakwah yang penuh berkah ini melalui pendirinya langsung terutama
 di saat beliau melakukan kunjungan ke kota Zaqaziq. 
Adapun
 awal begitu tertariknya beliau dengan dakwah Ikhwanul Muslimin adalah 
saat mendengar ceramah ustadz Hasan Al-Banna tentang masalah 
membersihkan jiwa, menumbuhkan perasaan, menggelorakan ruh. Ketika 
beliau mendengarkan uraiannya ada perasaan aliran darah yang deras dan 
kencang merasuk ke dalam jiwanya, bergelora ruhnya, akalnya, hatinya dan
 perasaannya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama dan usaha yang 
keras, segera terdorong jiwanya untuk bergabung dengan dakwah yang penuh
 berkah ini, dakwah yang membawa kebenaran, dan siap bekerja untuknya, 
terikat dengannya serta komitmen untuk berjihad di jalannya. Pada saat 
itu Imam Hasan memandang telah terjadi  kehancuran di tengah umat Islam 
sehingga perlu adanya kerja keras untuk menolong dan menyelamatkannya. 
Dan ditambah kecemburuan iman Hasan Al-Banna yang bergelora di dadanya, 
yang mana hal tersebut  dapat diketahui saat beliau berbicara, baik 
dihadapan para ulama yang shalih dan dihadapan orang-orang yang 
duduk-duduk dan nongkrong di kedai kopi. 
Pada saat itu –setelah mendengar
 uraian imam Hasan Al-Banna- beliau langsung menghadap, dan setelah 
berbicara singkat, beliau melakukan janji, ikatan dan baiat. Baiat yang 
mengikat dirinya dan kehidupannya untuk selamanya, dan berada di jalan 
dakwah yang penuh berkah ini, mengarungi masa depan dakwah. Dan inilah 
model kejujuran para rijal dakwah. Mengikat jiwa mereka dengan dakwah 
kehidupan masa lalunya, yang sedang berjalan dan yang akan datang dengan
 kebenaran.
Dan karena karakter imam Hasan 
Al-Hudaibi memiliki kecerdasan dan kejelian,  jiwa yang kokoh, ruh yang 
bersih, sehingga ketika mendengar dakwah imam Hasan Al-Banna yang 
bersumber dari kejujuran dan keikhlasan, dan totalitas yang begitu 
dalam, beliau yakin bahwa ini adalah dakwah yang akan memberikan air 
kesejukan bagi siapa saja yang haus hatinya, perasaannya dan jiwanya.
Bai’at ustadz Hasan Al-Hudaibi
Pada tanggal 12 Pebruari tahun 
1949 para pesuruh kerajaan Mesir Raja Farouk berhasil membunuh Hasan 
Al-Banna sehingga membuat kosong kursi Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, dan
 pada saat itulah,  para pendiri Ikhwan berusaha mencari menggantinya, 
dan akhirnya mereka menetapkan Hasan Al-Hudaibi menjadi Mursyid Am 
Ikhwanul Muslimin. Pada 6 bulan pertama Hasan Al-Hudaibi menjabat 
sebagai mursyid secara tersembunyi dan diam-diam, tanpa tidak 
meninggalkan pekerjaannya sebagai jaksa selama masa tersebut. Dan ketika
 pemerintahan An-Nuhas Pasya memberikan izin kepada lembaga pendiri 
Ikhwanul Muslimin untuk melakukan pertemuan, para anggota tersebut 
mempersilakan kepada Hasan Al-Hudaibi untuk memimpin pertemuan dan 
menjabat sebagai mursyid am Ikhwanul muslimin, namun saat itu beliau 
menolak permintaan mereka, karena beliau menganggap saat pemilihan atas 
dirinya menjadi Mursyid  oleh anggota lembaga pendiri hanya pada 
marhalah sirriyah dan tidak mewakili pendapat anggota Ikhwan lainnya, 
dan beliau meminta untuk memilih Ikhwan lain menjabat sebagai mursyid, 
namun para Ikhwan lainnya menolak permintaan tersebut dan meminta beliau
 untuk melanjutkan jabatannya sebagai mursyid Ikhwanul muslimin, 
akhirnya beliau menerima permintaan utusan para Ikhwan dan setelah itu 
beliau mulai mengurus pengunduran diri dari pekerjaannya untuk fokus 
pada jabatan barunya yaitu mursyid Am Ikhwanul muslimin.
Dab tepat pada tanggal 17 
Oktober 1951 Hasan Al-Hudaibi resmi menjadi mursyid am jamaah Ikhwanul 
muslimin.  Dan setelah itu beliau melakukan jaulah ke berbagai tempat 
dan daerah yang terdapat di dalamnya anggota Ikhwanul Muslimin untuk 
menegaskan bahwa mereka mendukung keputusan tersebut. Dan akhirnya 
beliau mendapatkan kepastian tersebut…, bahkan semua anggota yang 
bertemu dengannya melakukan baiat kepadanya. Dan sebelum baiat beliau 
berkata: “Sebenarnya saya tahu, bahwa saya sedang menyerahkan diri pada 
kepemimpinan dakwah yang mengakibatkan syahidnya sang pionir, muassis 
dan mursyid pertama, berhadapan dengan ancaman pembunuhan, penyiksaan 
para pengikutnya, pengusiran di jalan Allah, mereka telah mendapatkan 
apa yang mereka harapkan, dan saya tidak yakin pada diri ini akan mampu 
melakukan dari apa yang ditinggalkan oleh sang imam dan membawa maslahat
 di dalamnya seperti imam Hasan Al-Banna, namun walau begitu saya akan 
berusaha menghadirkan dan melakukan sesuai dengan amanah dan keinginan 
para Ikhwan, menunaikan amanah untuk Allah SWT, tidak mencari dan 
berharap apapun kecuali ganjaran dan ridha Allah, dan saya tidak meminta
 pertolongan kepada siapapun kecuali pada kekuasaan dan kekuatan Allah 
SWT.
Apa yang diberikan oleh Hasan Al-Hudaibi untuk jamaah ini?
- Dukungan beliau terhadap 
jamaah dan pembelaannya sangat besar sekali, bahkan kontribusi yang 
mulia beliau tampakkan ketika membeli rumah markas al-am (kantor pusat).
 
- Menunjukkan amanah dakwahnya saat beliau  marah terhadap kekejaman Zionis guna membela Palestina.
-
 Memiliki jiwa perhatian terhadap keluarganya, dengan membentuk kantor 
cabang di desanya “Arab As-shawalihah” dan desa-desa yang berdekatan 
dengannya.
- Dengan retorika dan 
metode khas beliau dan berpenampilan tenang dan penuh tawadhu mampu 
menghidupkan dakwah di daerah Syibin Al-Qanatir.
-
 Beliau tidak pernah putus menjalin hubungan dengan imam syahid, dan 
bahkan beliau tidak pernah lepas dalam bertukar pikiran dan memberikan 
pendapat yang konstruktif pada setiap langkah dan sikap sebelum 
terjadinya pembunuhan dan setelahnya, bahkan beliau selalu ikut dalam 
jalasah yang diikuti oleh mukhlisin dan pejabat teras Ikhwanul Muslimin,
 yang sedang berjual melakukan pemetaan strategi dakwah untuk jamaah 
sebelum dan sesudah syahidnya Mursyid pertama.
-
 Setelah beliau bergabung dengan dakwah, maka  seluruh jiwanya, 
rumahnya, anak-anaknya, jabatannya, dan seluruh hartanya diserahkan 
untuk dakwah dan dibawah kendali dakwah.
-
 Beliau adalah satu-satunya orang yang jujur dalam dakwah yang berasal 
dari kalangan kejaksaan sehingga beliau menjadi pionir dan satu-satunya 
orang yang mampu membersihkan kewibawaan jamaah, membersihkan kejaksaan 
dari pengaruh kedustaan dan kebohongan, yang sengaja dilakukan oleh 
pemerintah untuk mengubah kejaksaan dari kerja yang serius dan 
bertanggung jawab pada tindakan melakukan kezhaliman dengan berbagai 
tuduhan yang dibuat-buat.
- Hasan
 Al-Hudaibi juga selalu mengikuti perkembangan berita Ikhwan, terutama 
setelah terbunuhnya imam Hasan Al-Banna, selalu membekali diri dengan 
nasihat-nasihat yang membuatnya memiliki kekuatan dan imunitas dari 
gelora kekejian pemerintah dan kekuasaan undang-undang, dan mampu 
melakukan banyak kebaikan menuju jalan yang pasti; yaitu melakukan 
penyatuan barisan, memberikan dukungan untuk tsabat dan tsiqah kepada 
Allah di antara para Ikhwan.
- Beliau memiliki perhatian kepada keluarga Ikhwan yang ditangkap dan dipenjara.
Hasan Al-Hudaibi saat di penjara
Mursyid
 memulai hidup barunya menjadi Mursyid Am Ikwahnul Muslimin berhadapan 
dengan berbagai ujian dan cobaan yang begitu keras; berbagai 
penangkapan, vonis hukuman penjara, bahkan menerima siksaan dan hukuman 
mati atasnya, yang kemudian berganti menjadi hukuman kerja paksa.
Pendapat para ulama tentang Hasan Al-Hudaibi
Saat memulai kehidupannya 
menjadi mursyid am kedua Ikhwanul Muslimin, beliau mulai mengalami 
kehidupan yang keras dan tidak pernah berhenti, beban yang berat dan 
ujian yang tidak pernah putus, cobaan terhadap jamaah terutama 
pemimpinnya terus berlanjut; dimasukkan di dalam penjara, disiksa, 
dijatuhi hukuman mati, kemudian di ganti dengan hukuman kerja paksa. Di 
tengah ujian tersebut beliau berkata:”Tegakkanlah daulah Islam di dalam 
hati-hati kalian, niscaya dia akan tegak di negeri kalian”. Pada kondisi
 yang mengenaskan berada dipenjara yang terisolir -sementara para Ikhwan
 yang lain dan termasuk anak-anaknya ikut disiksa dan dipecut – beliau 
memperkokoh jiwa mereka dan mengajak mereka untuk mempertahankan 
keimanan mereka.
DR. Ahmad Al-’Asal berkata 
tentangnya: “Beliau selalu menghadirkan kepada mereka untuk memiliki 
hati yang tsabat, dan jiwa yang tenang; dengan mengatakan di hadapan 
para pelaku penyiksaan: “Mereka adalah sebaik-baik pemuda Mesir, karena 
itu, jagalah mereka untuk menjadi saham bagi negerinya, cukuplah kalian 
mengambil dan memenjarakan diri  saya dan melakukan apa yang kalian 
inginkan”. 
Selama di penjara kesehatan 
beliau sering terganggu, sehingga harus dipindah ke rumah sakit, namun 
setelah itu hukuman terhadapnya tidak berhenti namun dikembalikan ke 
tempat semula untuk ikut merasakan penderitaan Ikhwan lainnya serta 
anak-anaknya. Beliau berkta: “Penjara adalah sebaik-baik tempat 
pengkondisian jiwa bukan sekadar tembok dan jeruji besi”. Ahmad Al-’Asal
 juga berkata: “saya tidak pernah lupa terhadap apa yang diceritakan 
beliau kepada kami, beliau meneteskan air mata saat bercerita tentang 
kondisi seorang Ikhwan yang miskin yang mendapatkan waktu berharga pada 
salah seorang Pasya saat dirinya membersihkan WC di tempat salah seorang
 terpidana, maka salah seorang dari teman-temannya berinisiatif 
memberikan uang atas amanah yang dikerjakannya dan kembali bekerja. Maka
 Ikhwan tersebut berdiri sambil menegakkan badannya berkata: “Sungguh 
saya ingin menambah pekerjaan ini sesuai dengan amanah, dan saya tidak 
menginginkan upah tersebut kecuali karena Allah, dan saya tidak butuh 
harta tersebut”. Kemudian Ustadz berkata: “Padahal saya tahu betul 
kondisinya, dirinya pasti membutuhkan harta tersebut, namun karena 
kesucian dan kebersihan dirinya,  ia tidak mau menerima uang tersebut”. 
Kemudian air matanya meleleh kembali.
Ahmad Husain pemimpin pemuda 
Mesir berkata, kami dimasukkan di penjara perang pada bulan Maret tahun 
1954, dan saya melihat Syeikh Hasan Al-Hudaibi ada di dalamnya bersama 
kami, dan ketika beliau berada sama saya, seakan saya melihat dirinya 
penuh dengan kemuliaan dan ketawadhuan, serta berinteraksi dengannya 
yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, dan saya mengira bahwa 
kemuliaan yang besar ini baginya adalah kemuliaan bersama Ikhwanul 
Muslimin. Salah seorang wartawan bertanya kepada saya; apa pendapatmu 
terhadap Ikhwan pada perang di Palestina? Maka saya jawab bahwa hal 
tersebut merupakan fenomena yang sangat mulia; karena merekalah yang 
telah berhasil menyelamatkan tentara Mesir dari kekalahan, yaitu mereka 
berhasil melindungi pasukan terakhir saat mundur, dan hendaknya dunia 
mesti memahami, bahwa orang yang memerangi Ikhwan dengan besi dan api, 
telah melakukan perbuatan demi kepentingan syaitan, janganlah kalian 
mengira wahai saudaraku bahwa saya mengucapkan ini saat ini sah; karena 
saya telah meninggalkan Mesir sejak tahun 1955; dan terakhir kali saya 
bertemu dengan Abdul Nasher adalah karena terkait permasalahan ini. 
Kemudian dia berkata: “Bahwa syahid kalian dan syuhada Islam, sedang 
menikmati kenikmatan di sisi Tuhannya, dan kelak sejarah akan mencatat 
seperti Ibnu Hambal, yang menolak untuk disamakan atau dijauhkan 
terhadap apa yang dianggapnya benar”.
Buku-buku karangan beliau
1. Duat la qudhat
2. Inna hadzal Qur’an
3. Al-islam wa ad-da’iyah, kumpulan tulisan yang disusun oleh As’ad Sayyid Ahmad
Sumber rujukan:
1. Mausu’ah al-harakiyah, muassasah al-buhuts wal masyari’ al-islamiyah, dipimpin oleh Fathi Yakan
2. Majalah As-Syihab, edisi 13
3. Afaq Arabiyah, makalah ustadz Muhammad Abdullah Al-Khatib.

EmoticonEmoticon